Teuku Jacob
(1929–2007)
Teuku Jacob
Prof. Dr. Teuku Jacob (lahir di Peurelak, Aceh Timur, 6 Desember 1929, meninggal di Yogyakarta, 17 Oktober 2007) putra bungsu dari tiga bersaudara, anak dari Teuku Sulaiman, Jacob tamat SMA di Banda Aceh, 1949 dan Lulus FK UGM, 1956, kemudian ia belajar di Universitas Amerika, Washington DC, tetapi mengambil gelar doktor di Rijksuniversiteit, Utrecht, Negeri Belanda, 1970. Di dua perguruan tinggi ini, Jacob dibimbing dua arkeolog ternama yakni Prof. Dr. W. Montague Cobb, dan Prof. Dr. G.H.R. Koenigswald.
Gagasannya di bidang pendidikan terasa orisinil. Misalnya, ia pernah melempar gagasan untuk menerima lulusan SMA IPS di fakultas kedokteran. Ia juga gusar melihat sebagian besar insinyur bekerja di kota. ‘’Kalau dokter bisa menjadi dokter Inpres, mengapa insinyur tidak,’’ katanya.Tetapi, memenuhi harapan Menteri P & K untuk mencetak kader penerus kegiatan bidang ilmu yang digelutinya, ia malah merasa sulit. Orang tidak banyak tertarik bidang ini karena hasilnya tidak langsung dirasakan. Lagi pula, bidang ini erat berkaitan dengan antardisiplin: ilmu kedokteran, biologi, kedokteran gigi, arkeologi, dan antropologi budaya. ‘’Menyiapkan program pendidikannya pun menjadi susah,’’ ujarnya.
Di beberapa negara, Jacob tercatat sebagai anggota sejumlah perkumpulan. Ia juga menulis beberapa karya. Jacob menolak anggapan para ahli Barat bahwa manusia purba di kawasan Sangiran, Solo, bertradisi mengayau — memenggal kepala lalu memakan otak sesamanya. Ia menyatakan, ‘’Temuan-temuan tengkorak Sangiran umumnya sudah tidak bertulang dasar, rusak karena lemah. Lagi pula, manusia purba cukup bekerja dua jam untuk makan sepanjang hari, sehingga rangsangan untuk membunuh menjadi berkurang.’’
Menikah dengan Nuraini, Jacob dikaruniai seorang anak wanita. Kegemarannya cuma membaca. Bila bepergian, ia sering membawa banyak kopor. Bukan pakaian, melainkan tulang belulang. Ketika membawa fosil ke Tokyo, 1977, ‘’Saya dijaga ketat, pakai polisi bersirene, dan lampu merah segala,’’ ceritanya.
Tidak selamanya serius, Jacob juga suka berkelakar. ‘’Orang bisa memancarkan wibawanya lewat berbusana bersih, rapi, dan wangi,’’ katanya. Tetapi, ‘’Di dunia kami lain. Semakin kumal baju yang dikenakan seorang peneliti, apalagi kalau ada lubang di sana-sini, ia akan semakin tampak berwibawa, dan lebih dihormati.
Mantan guru besar emeritus dan antropolog ragawi Universitas Gajah Mada (UGM). Ia sempat menghebohkan dengan penemuannya mengenai kontroversi keberadaan manusia Flores. Selain itu ia juga dikenal sebagai seorang ilmuwan yang tekun pada bidangnya dan menghasilkan banyak karya tulis, penelitian, buku, artikel, makalah di berbagai surat kabar dan jurnal. Beliau merupakan putera aceh yang diakui sebagai ilmuwan arkeologi internasional.
Sumber wikisource
(1929–2007)
Teuku Jacob
Prof. Dr. Teuku Jacob (lahir di Peurelak, Aceh Timur, 6 Desember 1929, meninggal di Yogyakarta, 17 Oktober 2007) putra bungsu dari tiga bersaudara, anak dari Teuku Sulaiman, Jacob tamat SMA di Banda Aceh, 1949 dan Lulus FK UGM, 1956, kemudian ia belajar di Universitas Amerika, Washington DC, tetapi mengambil gelar doktor di Rijksuniversiteit, Utrecht, Negeri Belanda, 1970. Di dua perguruan tinggi ini, Jacob dibimbing dua arkeolog ternama yakni Prof. Dr. W. Montague Cobb, dan Prof. Dr. G.H.R. Koenigswald.
Gagasannya di bidang pendidikan terasa orisinil. Misalnya, ia pernah melempar gagasan untuk menerima lulusan SMA IPS di fakultas kedokteran. Ia juga gusar melihat sebagian besar insinyur bekerja di kota. ‘’Kalau dokter bisa menjadi dokter Inpres, mengapa insinyur tidak,’’ katanya.Tetapi, memenuhi harapan Menteri P & K untuk mencetak kader penerus kegiatan bidang ilmu yang digelutinya, ia malah merasa sulit. Orang tidak banyak tertarik bidang ini karena hasilnya tidak langsung dirasakan. Lagi pula, bidang ini erat berkaitan dengan antardisiplin: ilmu kedokteran, biologi, kedokteran gigi, arkeologi, dan antropologi budaya. ‘’Menyiapkan program pendidikannya pun menjadi susah,’’ ujarnya.
Di beberapa negara, Jacob tercatat sebagai anggota sejumlah perkumpulan. Ia juga menulis beberapa karya. Jacob menolak anggapan para ahli Barat bahwa manusia purba di kawasan Sangiran, Solo, bertradisi mengayau — memenggal kepala lalu memakan otak sesamanya. Ia menyatakan, ‘’Temuan-temuan tengkorak Sangiran umumnya sudah tidak bertulang dasar, rusak karena lemah. Lagi pula, manusia purba cukup bekerja dua jam untuk makan sepanjang hari, sehingga rangsangan untuk membunuh menjadi berkurang.’’
Menikah dengan Nuraini, Jacob dikaruniai seorang anak wanita. Kegemarannya cuma membaca. Bila bepergian, ia sering membawa banyak kopor. Bukan pakaian, melainkan tulang belulang. Ketika membawa fosil ke Tokyo, 1977, ‘’Saya dijaga ketat, pakai polisi bersirene, dan lampu merah segala,’’ ceritanya.
Tidak selamanya serius, Jacob juga suka berkelakar. ‘’Orang bisa memancarkan wibawanya lewat berbusana bersih, rapi, dan wangi,’’ katanya. Tetapi, ‘’Di dunia kami lain. Semakin kumal baju yang dikenakan seorang peneliti, apalagi kalau ada lubang di sana-sini, ia akan semakin tampak berwibawa, dan lebih dihormati.
Mantan guru besar emeritus dan antropolog ragawi Universitas Gajah Mada (UGM). Ia sempat menghebohkan dengan penemuannya mengenai kontroversi keberadaan manusia Flores. Selain itu ia juga dikenal sebagai seorang ilmuwan yang tekun pada bidangnya dan menghasilkan banyak karya tulis, penelitian, buku, artikel, makalah di berbagai surat kabar dan jurnal. Beliau merupakan putera aceh yang diakui sebagai ilmuwan arkeologi internasional.
Sumber wikisource
Komentar
Posting Komentar