Rabu, 12 Januari 2011

LAPORAN

BAB I
PENDAHULUAN

I.1. WILAYAH SANGIRAN
Sangiran adalah sebuah situs arkeologi di Jawa, Indonesia. Sangiran memiliki area sekitar 48 km². Secara fisiografis sangiran terletak pada zona Central Depression, yaitu berupa dataran rendah yang terletak antara gunung api aktif, Merapi dan Merbabu di sebelah barat serta Lawu di sebelah timur. Secara administratif Sangiran terletak di Kabupaten Sragen (meliputi 3 Kecamatan yaitu Kecamatan Kalijambe, Gemolong dan Plupuh serta Kecamatan Gondangrejo) dan kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Sangiran terletak di desa Krikilan,Kec. Kalijambe ( + 40 km dari Sragen atau + 17 km dari Solo) situs ini menyimpan puluhan ribu fosil dari jaan pleistocen ( + 2 juta tahun lalu). Fosil-fosil purba ini merupakan 65 % fosil hominid purba di Indonesia dan 50 % di seluruh dunia. Hingga saat ini telah ditemukan lebih dari 13.685 fosil 2.931 fosil ada di Museum, sisanya disimpan di gudang penyimpanan. Pada tahun 1977 Sangiran ditetapkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia sebagai cagar budaya, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.070/0/1977, tanggal 5 Maret 1977. Selanjutnya keputusan itu dikuatkan oleh Komite World Heritage UNESCO pada peringatannya yang ke-20 di Merida, Mexico yang menetapkan kawasan Sangiran sebagai kawasan World Heritage (warisan dunia) No. 593.
Secara struktural Sangiran merupakan daerah yang mengalami pengangkatan dan perlipatan yang kemudian membentuk struktur kubah terbalik, yang seiring berjalannya waktu mengalami erosi. Adanya pengangkatan ini terjadi karena proses penekanan dari kiri ke kanan oleh tenaga eksogen dan dari bawah ke atas oleh tenaga endogen. Erosi menyebabkan tersingkapnya lapisan-lapisan tanah secara alamiah. Dimana di dalamnya terkandung informasi tentang kehidupan sejarah manusia purba dengan segala yang ada di sekelilingnya (pola hidup dan binatang-binatang yang hidup bersamanya). Keistimewaan Sangiran, berdasarkan penelitian para ahli Geologi dulu pada masa purba merupakan hamparan lautan. Akibat proses geologi dan akibat bencana alam letusan Gunung Lawu, Gunung Merapi, dan Gunung Merbabu, Sangiran menjadi daratan. Hal tersebut dibuktikan dengan lapisan-lapisan tanah pembentuk wilayah Sangiran yang sangat berbeda dengan lapisan tanah di tempat lain. Tiap-tiap lapisan tanah tersebut ditemukan fosil-fosil menurut jenis dan jamannya. Misalnya, Fosil binatang laut banyak diketemukan di Lapisan tanah paling bawah, yang dulu merupakan lautan.


Gambar 1. Proses terbentuknya Kubah Sangiran


Gambar 2. Sangiran Dome
Adapun lapisan tanah yang tersingkap di wilayah Sangiran terbagi menjadi 4 lapisan (dari lapisan teratas) yaitu Formasi Notopuro, Formasi Kabuh, Formasi Pucangan dan Formasi Kalibeng.
A. Formasi Notopuro
Formasi Notopuro terletak di di atas formasi Kabuh dan tersebar di bagian tas perbukitan di sekeliling Kubah Sangiran. Formasi ini tersusun oleh material vulkanis seperti batu pasir vulkanis, konglomerat dan breksi dengan fragmen batuan beku andesit yang berukuran brangkal hingga bonkah. Ketebalan lapisan mencapai 47 meter dan terbagi menjadi tiga lapisan yaitu lapisan Formasi Notopuro bawah dengan ketebalan 3,2-28,9 meter, Formasi Notopuro tengah dengan ketebalan maksimal 20 meter dan Formasi Notopuro atas dengan ketebalan 25 meter. Pada Formasi Notopuro ini sangat jarang dijumpai fosil. Formasi ini ditafsirkan sebagai hasil pengendapan darat yang sangat dipengaruhi oleh aktivitas vulkanik dan terjadi pada kala Pleistocene atas.
B. Formasi Kabuh
Formasi Kabuh merupakan lapisan yang berumur 800.00-250.000 tahun yang lalu dan merupakan formasi yang paling banyak ditemukan fosil mamalia, manusia purba dan alat batu. Formasi ini terbagi menjadi dua yaitu grenzbank yang metupakan lapisan pembatas antara formasi Pucangan dengan Kabuh. Terdiri dari lapisan batu gamping konglomeratan yang berbentuk lensa-lensa dengan ketebalan 2meter. Di grenzbank banyak ditemukan fosil mamalia (Stegodon trigonocephalus, Bubalus paleokarabau, Duboisia santeng dll) dan fosil Hominidae. Formasi Kabuh atas ketebalan lapisannya sekitar 3-16 meter merupakan batu pasir dengan struktur silang siur yang menunjukkan hasil endapan sungai. Terjadi pada kala Pleistocene tengah.
C. Formasi Pucangan
Formasi Pucangan berumur 1.800.000-800.000 tahun yang lalu. Formasi ini terbagi menjadi dua yaitu lahar bawah dan lempung hitam. Formasi Pucangan lahar bawah ketebalannya berkisar 0,7-50 meter berupa endapan lahar dingin atau breksi vulkanik yang terbawa aliran sungai dan mengendapkan moluska air tawar di bagian bawah dan diatome di bagian atas. Pada lapisan ini juga terdapat fragmen batu lempung gampingan dari formasi Kalibeng. Formasi Pucangan Atas ketebalan mencapai 100 meter berupa lapisan napal dan lempung yang merupakan pengendapan rawa-rawa, pada formasi ini terdapat sisipan endapan molusca marine yang menunjukkan bahwa pada waktu itu pernah terjadi transgresi laut. Formasi ini banyak mengandung fosil binatang vertebrata seperti gajah (Stegodon trigonocephalus),banteng (Bibos paleosondaicus), kerbau (Bubalus paleokarabau, Hippopotamidae dan Cervidae. Pada formasi Pucangan ini juga ditemukan fosi Homo erectus , fosil karapaks dan plastrón kura-kura.
D. Formasi Kalibeng
Formasi kalibeng berumur 3.000.000-1.800.000 tahun yang lalu. Formasi tanah ini hanya tersingkap pada bagian Kalibeng atas (Pliocene atas). Formasi ini terdiri dari 4 lapisan. Untuk lapisan terbawah ketebalan mencapai 107 meter merupakan endapan laut dalam berupa lempung abu-abu kebiruan dan lempung lanau dengan kandungan moluska laut. Lapisan kedua ketebalan 4-7 meter merupakan endapan laut dangkal berupa pasir lanau dengan kandungan fosil moluska jenis Turitella dan foraminifera. Lapisan ketiga berupa endapan batu gamping balanus dengan ketebalan 1-2,5 meter. Lapisan keempat berupa endapan lempung dan lanau hasil sedimentasi air payau dengan kandungan moluska jenis corbicula. Adanya kalkarenit dan kalsirudit menunjukkan bahwa formasi Kalibeng merupakan hasil endapan laut yang amat dangkal.


Gambar 3. Formasi Situs Sangiran
Secara stratigrafis situs ini merupakan situs manusia purba berdiri tegak terlengkap di Asia yang kehidupannya dapat dilihat secara berurutan dan tanpa terputus sejak 2 juta tahun yang lalu hingga 200.000 tahun yang lalu yaitu sejak Kala Pliocene Akhir hingga akhir Pleistocene Tengah. Situs Sangiran menurut penelitian geologi muncul sejak Jaman Tersier akhir Pada kala Pliocene atas kawasan Sangiran masih berupa lautan dalam yang berangsur berubah menjadi laut dangkal dengan kehidupan foraminifera dan moluska laut. Pendangkalan berjalan terus sampai akhir kala Pliocene.

I.2. MUSEUM SANGIRAN
Museum Sangiran terletak di desa Krikilan, kecamatan Kalijambe, Sragen, Jawa Tengah kurang lebih 15 km utara kota Surakarta. Museum ini terletak di kubah Sangiran dan dilalui 3 anak sungai Bengawan Solo yaitu, Kali Cemoro, Kali Brangkal dan Kali Poh Jajar, dan arus–arus kecil yang menyingkap lapisan tanah di lembah tersebut. Museum Sangiran ini dibangun di area seluas 16.675 m2. Museum tersebut terdiri dari ruang pameran, laboratorium, perpustakaan, ruang seminar, tempat penyimpanan fosil dan pos penjagaan.
Museum Sangiran dibangun untuk tujuan pemanfaatan dan pelestarian potensi situs Sangiran. Fosil Hominid di situs Sangiran mencakup masa evolusi menusia lebih dari 1 juta tahun. Temuan alat–alat batu seperti kapak perimbas, serpih, dan bola batu merupakan bukti adanya adaptasi manusia purba terhadap lingkungannya. Adapun binatang vertebrata yang menjadi bagian hidup manusia purba Sangiran, diduga telah mendiami daerah ini sejak 1,5 juta tahun yang lalu. Beberapa contoh fosil vertebrata yang ada di Museum Sangiran antara lain Stegodon sp. dan Elephas sp. (jenis-jenis gajah purba), Cervidae (rusa), Bovidae (kerbau, sapi ataupun banteng) maupun Rhinoceros sp. (badak).

Gambar 4. Pintu Gerbang Museum Purbakala Sangiran

Gambar 5. Menara Pandang Sangiran

I.3. TUJUAN
Tujuan dari studi fosil ini adalah untuk mempelajari metode dasar penelitian Paleozoologi, pengenalan fosil hingga tinkat takson famili berdasarkan struktur tulangnya serta untuk mempelajari situs Sangiran terkait dengan formasi lapisan dan jenis-jenis fosil yang ditemukan di daerah tersebut.
















BAB II
METODE

II.1. LOKASI DAN WAKTU PELAKSANAAN
A. Laboratorium
Studi fosil dilakukan di Laboratorium Bioanthropologi dan Paleoanthropologi, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada pada tanggal 29 September 2009, 6 Oktober 2009 dan 13 Oktober 2009.

B. Museum Sangiran
Pengamatan lapangan dilaksanakan pada anggal 20 Desember 2009 di tiga lokasi yang berbeda. Lokasi pertama adalah Museum Situs Prasejarah Sangiran, lokasi kedua adalah di suatu bukit yang menampakkan singkapan lapisan batuan tua di area persawahan dan lokasi ketiga adalah di suatu bukit yang menampakkan singkapan lapisan batuan tua di area perkebunan di daerah puncak tertinggi daerah Sangiran.

II.2. ALAT DAN BAHAN
A. Laboratorium
Alat dan bahan yang digunakan dalam studi fosil di laboratorium antara lain :
1. Kuas kecil dan besar
2. Alat tulis
3. Alat ukur (penggaris, meteran, jangka sorong)
4. Kotak pasir dan meja
5. Dental tool
6. Lem UHU
7. Kamera
8. Model dan gambar pembanding
11. Fosil yang diteliti, meliputi : Ordo Perissodactyla (Rhinocerotidae), ordo Artiodactyla (Hippopotamidae, Cervidae, Bovidae, dan Suidae), ordo Proboscidea (Stegodonidae, Mastodonidae dan Elephantidae), Ordo Carnivora (Felidae dan Canidae) serta Ordo Reptilia (Testudinidae dan Crocodylia).
B. Museum Sangiran
Alat dan bahan yang digunakan dalam studi fosil di situs Sangiran antara lain :
1. Kamera
2. Plastik klip
3. Alat tulis
4. Prin out yang memuat tentang penjelasan dari formasi situs Sangiran
5. Handuk kecil
6. Kaca Pembesar
7. Paper clip

II.3. CARA KERJA
A. Laboratorium Bioanthro dan Paleoanthropologi UGM
1. Persiapan
Semua peralatan dasar di atas beserta fosil yang akan dipelajari disiapkan di atas meja.
2. Membersihkan dan rekonstruksi
Fosil yang akan dipelajari diletakkan di atas kotak pasir dan mulai dibersihkan dari matriks atau sedimen yang menempel menggunakan kuas. Yang perlu diperhatikan saat pembersihan fosil-fosil ini adalah perhatikan nomor temuan masing – masing fosil ketika dikeluarkan dan diletakkan di kotak pasir diperhatikan dengan baik. Selanjutnya dilakukan rekonstruksi,fosil yang terpotong menjadi bagian–bagian kecil disatukan kembali menggunakan lam UHU untuk mempermudah proses identifikasi. Proses penyambungan kembali dilakukan dengan memperhatikan tekstur dan pola pecahan atau potongan fragmen fosil tersebut agar tidak terjadi kesalahan penempelan.
3. Identifikasi dan pengukuran
Fosil yang berukuran besar dapat diidentifikasi dengan cara membandingkan dengan koleksi lain dari laboratorium Bioanthropologi, Museum Sangiran atau tempat penyimpanan fosil yang lain, selain itu dapat juga dibandingkan dengan model cetakan, gambar maupun tulang hewan masa kini. Dalam hal ini, pembandingan dilakukan dengan mengamati karakter anatomis bagian fosil tersebut. Setelah diidentifikasi, fosil–fosil tersebut diukur dimensinya (panjang, lebar dan tebal) dengan jangka sorong untuk mengetahui visualisasi ukuran fosil tersebut.
4. Tabulasi dan dokumentasi
Data identifikasi dan hasil pengukuran fosil-fosil tersebut kemudian ditabulasikan beserta nomor temuan untuk dipelajari lebih lanjut kemudian. Semua fosil yang diamati didokumentasikan secara visual dengan kamera.

B. Museum Sangiran
Pengamatan di situs Sangiran dilakukan di 3 lokasi, yaitu di stasiun pengamatan, dan pengamatan fosil di museum Sangiran. Pengamatan pertama dilakukan di museum Sangiran. Pengamtan dilakukan dengan cara dokumentasi fosil-fosil yang ada di Museum Sangiran lengkap dengan keterangannya. Di stasiun pengamatan diamati singkapan lapisan tanah (batuan) yang terletak di sepanjang tebing, di sebelah selatan (depan) SD Krikilan, dimana daerah di depan situs tebing tersebut telah diolah menjadi areal persawahan oleh penduduk setempat. Singkapan tanah di daerah ini menunjukkan formasi tertentu yang akan dipelajari selanjutnya.

BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

III.1. Studi Fosil di Laboratorium Bioanthro dan Paleoanthropologi UGM

Spesimen yang diamati merupakan spesimen koleksi Laboratorium Bioanthro dan Paleoanthropologi, Fakultas Kedokteran UGM. Spesimen ini diidentifikasi terlebih dahulu, difoto dan kemudian diukur panjang, lebar serata tingginya.

A. Gigi Suidae
Gambar 6. Fosil Gigi Suidae
 Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Subphylum : Vertebrata
Class : Mammalia
Order : Artiodactyla
Family : Suidae
 Deskripsi
Tipe gigi heterodont. Gambar di atas merupakan gigi incisivus dan premolar/molar Suidae. Struktur tepi gigi heterodont ini disebabkan kebiasaan makan dari suidae yaitu pemakan segala (omnivora) mulai dari umbi-umbian hingga bangkai binatang lain.

B. Gigi Canidae
Gambar 7. Fosil Gigi Canidae, bawah : premolar
 Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Subphylum : Vertebrata
Class : Mammalia
Order : Carnivora
Family : Canidae
 Deskripsi
Gigi taring Canidae berbentuk seperti kerucut, runcing di bagian ujung. Famili Canidae tidak mengunyah makanan, mereka merobek-robek makanan sebelum akhirnya ditelan. Gigi molar atas dan bawah pada hewan karnivora berfungsi seperti gunting. Mereka berpotongan bersilangan, sehingga dapat memotong daging dengan efektif. Ciri khas dari gigi ordo Carnivora adalah adanya gigi carnasial.

C. Gigi Rodent
Gambar 8. Fosil Gigi Rodent, atas : incisivus, bawah : molar Hystrix
 Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Kelas : Mammalia
Ordo : Rodentia
Subordo : Hystricomorpha
Infraordo : Phiomorpha
Familia : Hystricidae
Genus : Hystrix
Spesies :Hystrix sp.
 Deskripsi
Rodentia memiliki gigi insisivus yang terus menerus tumbuh, oleh karena itu rodent punya kebiasaan mengerat. Kebiasaan ini berguna untuk mengasah mengikis ujung gigi tersebut agar tidak terus tumbuh menembus rahang bawah mereka.

D. Cervidae dan Bovidae
Gambar 9. Ranggah Cervidae (atas), Ujung Tanduk Bovidae (bawah)
 Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Kelas : Mammalia
Ordo : Cetartiodactyla
Subordo : Ruminantia
Familia : Cervidae
Kingdom: Animalia
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Kelas : Mammalia
Ordo : Artiodactyla
Famili : Bovidae
Gambar 10. Metacarpal Bovidae (atas), Molar Bovidae (bawah)
 Deskripsi
Ranggah dan tanduk berbeda asal dan bahan penyusunnya. Ranggah berasal dari penandukan kulit, sedangkan tanduk berasal dari tonjolan tulang cranium. Sehingga ranggah menjadi lebih mudah tanggal daripada tanduk. Selain itu tanduk memiliki inti tulang (bone core) sehingga tidak dapat digantikan bila patah.
Tulang hewan herbivora bentuknya relatif lebih lurus, tebal dan kaku. Sementara tulang hewan karnivora lebih tipis dan fleksibel mengikuti bentuk otot yang melekat disana. Tulang hewan herbivora berfungsi mendukung bobot tubuh yang besar dengan aktifitas gerak yang relatif lebih lambat daripada hewan karnivora.

III.2. Studi Fosil di Museum Purbakala Sangiran

A. Fosil Hominidae
Gambar 11. Tengkorak Pithecanthropus sp.
 Klasifikasi
Kelas : Mamalia
Ordo : Primata
Familia: Hominidae
Genus : Pithecanthropus
Spesies: Pithecanthropus sp.
 Deskripsi
Manusia berevolusi selama Pleistosen mengikuti jalur tertentu hingga menjadi apa yang sekarang kita lihat. Manusia memiliki pertumbuhan dan perkembangan otak, kemampuan berdiri tegak dengan sempurna, melambatnya perkembangan setelah kelahiran, dan pertumbuhan populasi manusia. Secara struktur dan fisik, manusia memiliki ukuran tubuh yang jauh lebih kecil dari hewan-hewan besar yang berbagi tempat hidup di dunia. Gorila hanya memiliki volume tengkorak 500-600 cm3. Manusia purba kelompok Australopithecus volume otaknya berukuran sekitar 600 cm3. Manusia paling primitif di zaman Pleistosen volume otaknya kira-kira 900 cm3. Sementara di akhir Pleistosen dan manusia sekarang memiliki volume otak berkisar antara minimal 1200 cm3 dan maksimal lebih dari 2000 cm3.

B. Fosil Testudinata
Gambar 12. Fosil Karapaks Chelonia sp.
 Klasifikasi
Kelas : Reptilia
Ordo : Testudinata
Familia: Chelonidae
Genus : Chelonia
Spesies: Chelonia sp.
 Deskripsi
Fosil ini dapat diidentifikasi sebagai Chelonidae dari bentuk karapaknya yang cukup ramping relatif membulat yang berbeda dengan kura-kura yang hidup di darat.
C. Fosil Crocodilia
Gambar 13. Mandibula dan Gigi Crocodillus sp.(atas), Tengkorak Atas Gavialis sp. (bawah)
 Klasifikasi
Kelas : Reptilia
Ordo : Crocodilia
Familia: Gavialidae
Genus : Gavialis
Spesies: Gavialis sp.
 Deskripsi
Fosil mandibula dan gigi Crocodillus sp. ditemukan pada tahun 1993 di Formasi Pucangan di Desa Krikilan, Kecamatan Kalijambe. Umurnya diperkirakan kurang lebih 1,8 juta tahun yang lalu (plistocene bawah). Gavialis memiliki cirri dengan moncong yang sangat sempit

D. Fosil Bola Batu
Gambar 14. Fosil Bola Batu
 Deskripsi
Ditemukan di Formasi Notopuro, berumur sekitar 500.000 – 200.000 juta tahun yang lalu. Bola batu ini berfungsi untuk alat berburu dan sebagai batu pemukul.

E. Fosil Kapak Perimbas dan Batu Inti
Gambar 15. Kapak Perimbas (kiri), Batu Inti (tengah)
 Deskripsi
Kapak perimbas merupakan sejenis kapak yang digenggam, berbentuk massif dan pembuatannya masih kasar. Teknik pembuatan kapak perimbas ini dimulai dari Pleistocene tengah hingga kala awal Holocene. Sedangkan batu inti merupakan bahan baku untuk membuat serpih dan bilah

F. Fosil Bovidae
Gambar 16. Fosil Tengkorak Bubalus paleokarabau
 Klasifikasi
Kelas : Mamalia
Ordo : Artiodactyla
Familia : Bovidae
Genus : Bubalus
Spesies : Bubalus paleokerabau
 Deskripsi
Ditemukan tahun 1992 ditemukan di Dukuh Tanjung, Kecamatan Gondangrejo pada Formasi Kabuh. Karakter yang paling menonjol dari Bovidae adanya tanduk yang hampir selalu ada pada individu jantan dan betina. Tanduk tersebut tumbuh dari tulang dahi, dilapisi lapisan luar zat tanduk yang sangat keras.

G. Fosil Proboscidae
Gambar 17. Fosil Gading Stegodon trigonocephalus
 Klasifikasi
Kelas : Mamalia
Ordo : Proboscidea
Familia : Stegodonidae
Genus : Stegodon
Spesies : Stegodon trigonocephalus
 Deskripsi
Stegodon muncul pada akhir Pliosen dan berlanjut hingga zaman Pleistosen. Stegodon berukuran sangat besar, bertungkai sangat panjang, tengkoraknya berlekuk dalam, gading atasnya sangat panjang dan melengkung, rahang bawahnya pendek dan tidak bergading, dan gigi molarnya sangat memanjang dengan celah-celah melintang pada setiap mahkota molarnya.

H. Fosil Hippopotamus sp.
Gambar 18. Fosil Hippopotamus sp.
 Klasifikasi
Kelas : Mamalia
Ordo : Artiodactyla
Familia: Hippopotamidae
Genus : Hippopotamus
Spesies: Hippopotamus sp.
 Deskripsi
Memiliki ukuran tubuh sangat besar, dengan tengkorak yang amat besar lekuk mata yang terangkat dan rahang bawah yang sangat dalam. Gigi seri dan taringnya membesar, setiap mahkota gigi gerahamnya memiliki bentuk yang sangat mungkin diturunkan dari tipe gigi selenodont antracotheres. Selama Pleistosen, hippopotamus tersebar luas di Eurasia dan Afrika. Hingga saat ini persebaran Hippopotamus sangat terbatas. Hippopotamus selain memiliki deretan gigi insisivus juga memiliki sepasang gigi insisivus yang berbentuk seperti tombak.

BAB IV
KESIMPULAN

Penemuan fosil di kawasan Sangiran secara langsung membuka pengetahuan dalam hal perkembangan evolusi makhluk hidup, distribusi dan pernyebarannya di muka bumi purba dan bagaimana pola interaksi dari masing-masing makhluk hidup di masa lampau. Fosil merupakan sarana untuk mempelajari bagaimana kehidupan masa lampau dengan menganalisis morfologi, rekontruksi dan taphotomi, yaitu runutan mulai dari fosil tersebut itu mulai hidup di bumi, mati dan akhirnya terfosilkan.




































BAB VI
DAFTAR PUSTAKA

Anonim1. Sangiran Tambang Fosil Binatang Purba. Dinas Pariwisata Pemda Propinsi Jawa Tengah, Semarang. 1975.
Anonim2. The Sangiran Prehistoric Site Museum as a Tourist Object in Solo. Museum Sangiran. Sragen. Pp. 3-6.
Anonim3. Situs Museum Purbakala Sangiran. Diakses tanggal 10 Desember 2010.
Anonim4. 2009. Geologi Zona Rembang. Diakses tanggal 10 Januari 2010.
Colbert, E.H. 1980. Evolution of The Vertebrates. 3rd edition. John Wiley and Sons, Inc. New York, USA. Pp. 230-236, 304-309, 344-348, 388-391, 404-406, 416-418, 431-436.
Hidayat, R.T. 2004. Museum Situs Sangiran Sejarah Evolusi Purba Beserta Situs dan Lingkungannya. Koperasi Museum Sangiran. Sragen.
Soedjadi Hartono. 2004. Situs Warisan Dunia : S A N G I R A N (World Heritage Site 593). Dimuat dalam WARTA Vol. 8 No. 1 Januari 2004. Diakses tanggal 10 Januari 2010.
http//www.sangiran.com.diakses tanggal 10 Januari 2010

Selasa, 11 Januari 2011

SITUS PURBAKALA YANG ADA DI INDONESIA

SITUS SANGIRAN
Sangiran adalah sebuah situs arkeologi di Jawa, Indonesia. Area ini memiliki luas 48 km² dan terletak di Jawa Tengah, 15 kilometer sebelah utara Surakarta di lembah Sungai Bengawan Solo dan terletak di kaki gunung Lawu. Secara administratif Sangiran terletak di kabupaten Sragen dan kabupaten Karanganyar di Jawa Tengah. Pada tahun 1977 Sangiran ditetapkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia sebagai cagar budaya. Pada tahun 1996 situs ini terdaftar dalam Situs Warisan Dunia UNESCO.
Tahun 1934 antropolog Gustav Heinrich Ralph von Koenigswald memulai penelitian di area tersebut. Pada tahun-tahun berikutnya, hasil penggalian menemukan fosil dari nenek moyang manusia pertama, Pithecanthropus erectus ("Manusia Jawa"). Ada sekitar 60 lebih fosil lainnya di antaranya fosil Meganthropus palaeojavanicus telah ditemukan di situs tersebut.
Di Museum Sangiran, yang terletak di wilayah ini juga, dipaparkan sejarah manusia purba sejak sekitar 2 juta tahun yang lalu hingga 200.000 tahun yang lalu, yaitu dari kala Pliosen akhir hingga akhir Pleistosen tengah. Di museum ini terdapat 13.086 koleksi fosil manusia purba dan merupakan situs manusia purba berdiri tegak yang terlengkap di Asia. Selain itu juga dapat ditemukan fosil hewan bertulang belakang, fosil binatang air, batuan, fosil tumbuhan laut serta alat-alat batu.
Pada awalnya penelitian Sangiran adalah sebuah kubah yang dinamakan Kubah Sangiran. Puncak kubah ini kemudian terbuka melalui proses erosi sehingga membentuk depresi. Pada depresi itulah dapat ditemukan lapisan tanah yang mengandung informasi tentang kehidupan di masa lampau.
Sangiran merupakan situs prasejarah yang berada di kaki gunung lawu, tepatnya di depresi Solo sekitar 17 km ke arah utara dari kota solo dan secara administrative terletak diwilayah Kabupaten Sragen dan sebagian terletak di kabupaten karanganyar, propinsi Jawa Tengah. Luas wilayah 56 KM yang mencakup tiga kecamatan di kabupaten Sragen. Surat keputusan Menteri Pendidikan & Kebudayaan NO 070/0/1977, Sangiran ditetapkan sebagai cagar budaya dengan luas wilayah 56 KM, dan selanjutnya Sangiran pada tahun 1996 oleh UNESCO ditetapkan sebagai World Heritage dengan nomor 593.
Menurut sejarah Geologi, daerah Sangiran mulai terbentuk pada akhir kala plestosen. Situs Sangiran terkenal karena mempunyai stratigrafi yang lengkap dan menjadi yang terlengkap di benua Asia, sehingga itu diakui dapat menyumbangkan data penting bagi pemahaman sejarah evolusi fisik manusia, maupun lingkungan keadaan alam purba. Stratigrafi di kawasan situs Sangiran menunjukkan proses perkembangan evolusi dari lingkungan laut yang berangsur-angsur berubah menjadi lingkungan daratan, seperti tercermin dari fosil-fosil yang ditemukan pada masing-masing formasi. Berdasarkan proses terbentuknya & kandungannya, lapisan tanah situs Sangiran dibedakan menjadi lima lapisan.
Lapisan-lapisan tanah situs Sangiran

Formasi Kalibeng

Lapisan tanah terbawah dan memiliki umur paling tua, terbentuk pada kala Pliosen sekitar 2 juta tahun yang lalu. Mendominasi pusat kubah sangiran, formasi kalibeng dicirikan oleh endapan laut dan gamping. Pada lapisan ini tidak ditemukan fosil mamalia tetapi fosil moluska.
Formasi Pucangan
Formasi ini berada diatas lapisan atau formasi kalibeng. Formasi ini berupa lempung hitam dan mulai terbentuk sekitar 1,8 juta tahun yang lalu dari endapan lahar Gunung Merapi purba dan Gunung Lawu purba. Formasi Pucangan banyak mengandung fosil manusia purba dan hewan mamalia
Grenzbank
Terletak diatas formasi Pucangan. Lapisan ini terdiri atas konglomerat silikaan stadium lanjut, Lapisan ini dipakai sebagai tanda batas antara Formasi pucangan dan Formasi Kabuh. Lapisan ini terdiri dari elemen laut dan kerikil terbentuk akibat erosi pegunungan selatan dan Kendeng, Pada Grenzbank banyak ditemukan hewan mamalia, ditemukan pula fosil Homo Erectus.

Formasi Kabuh
Berupa endapan sedimen vulkanik berfasies fluviatil (pasir silang-siur). Endapan ini terjadi karena aktivitas Gunung Merapi dan Gunung Lawu purba yang terjadi pada kala plestosen tengah (500-600 ribu tahun yang lalu). Kaya akan temuan fosil manusia purba ditemukan pada formasi ini.
Formasi Notopura
Berada pada lapisan teratas di situs Sangiran. Terbentuk karena akibat dari aktivitas Gunung Berapi pada kala plestosen atas (250.000-70.000 tahun yang lalu). Lapisan ini ditandai oleh endapan lahar, breksi dan pasir juga banyak ditemukan alat serpih dan fosil kerbau dan kijang.
Lingkungan Situs Sangiran dan Kebudayaannya
Sangiran merupakan sebuah kubah yang terbentuk oleh adanya proses deformasi, baik secara lateral maupun vertikal. Proses erosi pada puncak kubah telah menyebabkan terjadinya reverse, kenampakan terbalik, sehingga daerah tersebut menjadi daerah depresi. Bagian tengah kubah sangiran ditoreh oleh kali Cemoro sebagai sungai enteseden, sehingga menyebabkan formasi batuan tersingkap dan menunjukkan bentuk melingkar. Pada kala pliosen daerah ini menjadi laut dangkal kemudian terjadi gunung berapi akibatnya terjadi formasi Kalibeng, adanya regresi lebih lanjut pada daerah ini menyebabkan Sangiran menjadi daratan. Pada permulaan kala Plestosen bawah kegiatan Vulkanis semakin meningkat, sehingga terjadi aliran lahar dingin dan membentuk breksi vulkanik. Fosil Meganthropus mungkin muncul pada saat kegiatan vulkanis meleleh. Pada kala plestosen tengah, sangiran menjadi daratan lagi, disusul dengan kegiatan vulkanis yang makin menghebat sehingga menimbulkan endapan tufa yang berlapis-lapis, proses pengangkatan tanah pada daerah ini terjadi pada kala plestosen atas dan awal kala Holosen. Adanya pelapukan dan erosi pada puncak kubah, serta pengendapan material kali Cemoro, menyebabkan kenampakan sangiran menjadi seperti sekarang ini. Manusia yang hidup pada saat itu misalnya Meganthropus paleojavanicus, Pithecanthropus erectus, dan phitecanthropus soloensis.
Secara umum situs sangiran saat ini merupakan daerah berlahan tandus, terlihat dari banyaknya tempat yang gundul tak berpohon. Hal ini disebabkan karena kurangnya akumulasi sisa-sia vegetasi yang mengalami humifikasi membentuk humus. Jenis tanaman yang ada di Situs Sangiran, antara lain lamtoro, angsana, akasia, johar, sengon mahoni. Terdapat sungai-sungai yang terus melakukan deformasi di situs sangiran antara lain adalah Kali Cemoro dan Kali Ngrejeng. Sungai ini memiliki peranan bagi masyarakat sekitar. Bukti-bukti kehidupan ditemukan di dalam endapan teras sungai purba. Di daerah tropis ini tidak banyak mengalami perubahan iklim dan memungkinkan manusia purba untuk hidup.
Pada tahun 1934, daerah Jawa dipakai sebagai ajang penelitian manusia purba dan alatnya. G.H.R Von Koenigswald melakukan penggalian pada sebuah bukit di sebelah timur laut sangiran, menemukan sebuah alat batu yang berupa serpih. Teknologi yang lebih baik menggambarkan perkembangan keterampilan yang dimiliki oleh manusia pendukungnya yang hidup di Sangiran. Alat-alat yang dihasilkan, setingkat lebih maju dibandingkan dengan alat-alat sejenis dari himpunan alat Pacitan. Alat Pacitan diperkirakan berasal dari kala plestosen tengah bagian akhir. Sedangkan alat-alat batu sangiran ditemukan di lapisan tanah kala plestosen atas pada formasi Notopuro. Alat-alat yang banyak ditemukan adalah serpih, dan bilah. Sebagian alat-alat serpih Sangiran berbentuk pendek, lebar dan tebal, dengan panjang antara 2-4 Cm. Teknologi yang umumnya digunakan pada alat batu Sangiran adalah teknik clacton, dengan ciri alat serpih tebal. Selain itu untuk mendapatkan bentuk-bentuk alat yang diinginkan lebih khusus, dilakukanlah penyerpihan kedua. Disamping alat serpih dan bilah yang kemungkinan digunakan sebagai alat pemotong dan penyerut kayu, ditemukan juga alat-alat yang terbuat dari batu lain, yaitu: bola batu, kapak batu, serut, beliung persegi, kapak perimbas, batu inti, dll. Bahan yang digunakan untuk untuk peralatan tersebut adalah kalsedon, tufa kersikan, kuarsa,dll. Alat-alat pada situs Sangiran merupakan hasil teknologi kala plestosen yang dicirikan dengan pola perburuan binatang dan pengumpulan makanan sebagai mata pencahariannya. Kemungkinan juga berdasarkan ukuran alat-alat Sangiranyang relatif kecil;, telah ada kecenderungan untuk memilih hewan buruan yang lebih kecil
SITUS TRINIL
Trinil adalah situs paleoantropologi di Indonesia yang sedikit lebih kecil dari situs Sangiran. Tempat ini terletak di Desa Kawu, Kecamatan Kedunggalar, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur (kira-kira 13 km sebelum kota Ngawi dari arah kota Solo). Trinil merupakan kawasan di lembah Sungai Bengawan Solo yang menjadi hunian kehidupan purba, tepatnya zaman Plistosen Tengah, sekitar satu juta tahun lalu.
Pada tahun 1891 Eugène Dubois, yang adalah seorang ahli anatomi menemukan bekas manusia purba pertama di luar Eropa yaitu spesimen manusia Jawa. Pada 1893 Dubois menemukan fosil manusia purba Pithecanthropus erectus serta fosil hewan dan tumbuhan purba lain.
Saat ini Trinil berdiri sebuah museum yang menempati area seluas tiga hektar, dimana koleksinya di antaranya fosil tengkorak Pithecantrophus erectus, fosil tulang rahang bawah macan purba (Felis tigris), fosil gading dan gigi geraham atas gajah purba (Stegodon trigonocephalus), dan fosil tanduk banteng purba (Bibos palaeosondaicus). Situs ini dibangun atas prakarsa dari Prof. Teuku Jacob ahli antropologi dari Universitas Gadjah Mada.
SITUS LIANG BUA
Liang Bua (berarti "gua/lubang sejuk" dalam bahasa Manggarai) adalah salah satu dari banyak gua karst di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur di Indonesia. Gua ini terletak di Dusun Rampasasa, Desa Liangbua, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur. dan merupakan tempat penemuan makhluk mirip manusia (hominin) baru yang dinamakan Homo floresiensis pada tahun 2001.[1]
Secara geologi, gua ini merupakan bentukan endokars yang berkembang pada batu gamping yang berselingan dengan batu gamping pasiran. Batuan gamping ini diperkirakan berasal dari periode Miosen tengah atau sekitar 15 juta tahun yang lampau. Kawasan kars di NTT ini, sebagaimana kawasan kars di tempat lain di Indonesia, juga memiliki ciri-ciri khusus yang berlainan dengan kawasan kars lainnya.
Liang Bua dan gua-gua lainnya sekawasan telah digali secara arkeologi sejak tahun 1930-an. Temuan-temuan dari masa ini dibawa ke Leiden, Belanda. Penggalian dan penelitian dilanjutkan oleh tim pimpinan H.R. van Heekeren pada tahun 1950-an, lalu diteruskan oleh Th. Verhoeven, seorang pendeta Katolik. Timnya menemukan antara lain rangka sangat pendek (tetapi tidak katai) di Liang Toge, di samping tulang-tulang di Liang Bua, Liang Momer, dan lain-lain.[2] Kerangka-kerangka ini adalah H. sapiens. Peneliti selanjutnya yang melakukan penelitian di sana adalah A.A. Sukadana, ahli antropologi ragawi dari Universitas Airlangga, pada tahun 1960-an menemukan pula sisa-sisa manusia termasuk rahang bawah, di Liang Bua. Dari tahun 1978-1989, Prof. R. Panji Soejono menemukan antara lain tulang paha di Liang Bua. Sisa-sisa kerangka dari periode awal hingga terakhir tersimpan di Leiden, London, Yogyakarta, Jakarta, Surabaya, dan Flores. Penelitian selanjutnya dihentikan karena tidak ada pendanaan. Penelitian baru berlanjut setelah ada kerja sama antara Puslit Arkenas (dipimpin R.P. Soejono) dan Universitas New England, Australia (dipimpin Mike Morwood).[3]
Pada bulan September 2003 ditemukan kerangka unik yang kemudian diidentifikasi sebagai H. floresiensis. Bersamaan dengan manusia purba itu ditemukan pula perkakas batu yang dikenal telah digunakan oleh Homo erectus (seperti yang ditemukan di Sangiran) serta sisa-sisa tulang Stegodon (gajah purba) kerdil, biawak raksasa, serta tikus besar.
SITUS GUNUNG PADANG
Situs Gunung padang merupakan situs prasejarah peninggalan kebudayaan Megalitikum di Jawa Barat. Tapaknya berada di perbatasan Dusun Gunungpadang dan Panggulan, Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur. Luas kompleks "bangunan" kurang lebih 900 m², terletak pada ketinggian 885 m dpl, dan areal situs ini sekitar 3 ha, menjadikannya sebagai kompleks punden berundak terbesar di Asia Tenggara.
Laporan pertama mengenai keberadaan situs ini dimuat pada Rapporten van de Oudheidkundige Dienst (ROD, "Buletin Dinas Kepurbakalaan") tahun 1914. Sejarawan Belanda, N. J. Krom juga telah menyinggungnya pada tahun 1949. Setelah sempat "terlupakan", pada tahun 1979 tiga penduduk setempat, Endi, Soma, dan Abidin, melaporkan kepada Edi, Penilik Kebudayaan Kecamatan Campaka, mengenai keberadaan tumpukan batu-batu persegi besar dengan berbagai ukuran yang tersusun dalam suatu tempat berundak yang mengarah ke Gunung Gede[1]. Selanjutnya, bersama-sama dengan Kepala Seksi Kebudayaan Departemen Pendidikan Kebudayaan Kabupaten Cianjur, R. Adang Suwanda, ia mengadakan pengecekan. Tindak lanjutnya adalah kajian arkeologi, sejarah, dan geologi yang dilakukan Puslit Arkenas pada tahun 1979 terhadap situs ini.
Lokasi situs berbukit-bukit curam dan sulit dijangkau. Kompleksnya memanjang, menutupi permukaan sebuah bukit yang dibatasi oleh jejeran batu andesit besar berbentuk persegi. Situs itu dikelilingi oleh lembah-lembah yang sangat dalam[1]. Tempat ini sebelumnya memang telah dikeramatkan oleh warga setempat.[2] Penduduk menganggapnya sebagai tempat Prabu Siliwangi, raja Sunda, berusaha membangun istana dalam semalam.
Fungsi situs Gunungpadang diperkirakan adalah tempat pemujaan bagi masyarakat yang bermukim di sana pada sekitar 2000 tahun S.M.[2] Hasil penelitian Rolan Mauludy dan Hokky Situngkir menunjukkan kemungkinan adanya pelibatan musik dari beberapa batu megalit yang ada[3]. Selain Gunungpadang, terdapat beberapa tapak lain di Cianjur yang merupakan peninggalan periode megalitikum.
Naskah Bujangga Manik dari abad ke-16 menyebutkan suatu tempat "kabuyutan" (tempat leluhur yang dihormati oleh orang Sunda) di hulu Ci Sokan, sungai yang diketahui berhulu di sekitar tempat ini[4]. Menurut legenda, Situs Gunungpadang merupakan tempat pertemuan berkala (kemungkinan tahunan) semua ketua adat dari masyarakat Sunda Kuna. Saat ini situs ini juga masih dipakai oleh kelompok penganut agama asli Sunda untuk melakukan pemujaan.


SITUS PURBAKALA GILIMANUK
Situs Purbakala Gilimanuk adalah sebuah situs purbakala masa perundagian Gilimanuk yang terletak tidak jauh dari Pelabuhan Gilimanuk, Kabupaten Negara, Bali. Situs ini pertama kali ditemukan tahun 1960-an. Pada situs seluas ±4km persegi ini ditemukan kerangka dalam tempayan serta berbagai manik-manik, gerabah, serta barang-barang perunggu yang merupakan sisa kegiatan masyarakat pada masa prasejarah Indonesia sekitar 2000 tahun yang lalu (menjelang masa Hindu-Buddha).
Situs ini menunjukkan budaya penguburan yang sama dengan banyak situs purbakala lain di Indonesia, yaitu jenazah yang dimasukkan dalam tempayan. Situs lain yang menunjukkan budaya ini misalnya Situs Purbakala Plawangan.
SITUS PATI AYAM
Patiayam berada di kaki gunung Muria, tepatnya di salah satu bukitnya, yaitu gunung Slumpit, terdapat konkresi breksi vulkanik yang diikuti oleh puluhan mater pasir dan lempung tufaan. Situs Patiayam itu sendiri merupakan bagian dari endapan purba hasil letusan gunung Muria. Temuan-temuan yang dihasilkan dari situs ini adalah sisa-sisa manusia purba Erectus yang berupa 1 buah gigi prageraham bawah dan 7 buah pecahan tengkorak manusia, yang diternukan oleh Dr. Yahdi Yain dari Geologi ITB Bandung tahun 1979. Temuan yang lain berupa tulang belulang binatang purba antara lain : Stegodon trigonochepalus (gajah purba), Elephas sp (sejenis Gajah), Rhinocecos sondaicus (badak), Bos banteng (sejenis banteng), Crocodilus, sp (buaya), Ceruus zwaani dan Cervus/Ydekkeri martim (sejenis Rusa) Corvidae (Rusa), Chelonidae (Kura-Kura), Suidae (Babi Hutan), Tridacna (Kerang laut), Hipopotamidae (Kudanil). Temuan fosil-fosil di Patiayam memiliki keistimewaan daripada fosil temuan di daerah lain. Hal ini dikarenakan sebagian situs yang ditemukan bersifat utuh.
Baru-baru ini juga ditemukan fosil tulang paha manusia purba, diperkirakan fosil tulang paha tersebut merupakan tulang manusia purba yang sezaman dengan fosil gading gajah purba (Stegodon) hal ini berarti fosil tulang paha tersebut hidup pada masa Pleistosen-Pleistosen yang terdapat suatu masa hidup manusia purba Pithecantropus erectus dan Homo erectus. Menurut teori evolusi dari Charles Darwin kedua makhluk purba ini adalah asal usul manusia modern.
Temuan-temuan tersebut berasal dari batu lapisan batu pasir tufaan (Tuffaccorrs Sandstones), yaitu yang menurut Prof. Dr. Sartono dkk, merupakan jenis litologi dari formasi Slumprit yang terbentuk kala plestozen bawah. Oleh karena itu, fosil-fosil tersebut menunjukkan usia antara 700.000 tahun hingga 1 juta tahun. Dalam peninjauan ini juga ditemukan fragmen-fragmen fosil vertebrata yang diendapkan dalam lapisan tufa konglomeratan, jenis litologi penyusun formasi Slumprit. Fosil-fosil binatang dari formasi Kedungmojo ini jauh lebih sedikit jumlahnya dibandingkan dari formasi Slumprit dan ditafirkan berusia kala Plestosen tengah, sektiar 500.000 tahun lalu. Oleh karena itu, fosil-fosil yang ditemukan di Situs Patiayam ini menunjukkan bentang usia dari 1 juta tahun hingga 500.000 tahun yang lalu.
Dari berbagai temuan fosil yang telah disebutkan ada fosil yang menjadi kebanggan dari situs Patiayam yaitu penemuan-penemuan gading gajah yang sangat panjang ukurannya yaitu sekitar 3 meter lebih. Kedua gading ini tidak berasal dari satu gajah walaupun panjangnya hampir sama tetapi lekung dan besarnya berbeda. Fosil gading gajah ini ditemukan di hutan petak no. 21 Desa Terban Kecamatan Jekulo kabupaten Kudus. Sekarang, benda tersebut menjadi koleksi Museum negeri Ronggowarsito Semarang.
Selain ditemukan berbagai macam fosil-fosil manusia purba dan hewan-hewan purba, Situs Patiayam juga ditemukan berbagai macam alat-alat batu manusia purba seperti Serut, Kapak Perimbas ( Chopper) ,dan Gigantolith.
Sejauh ini peninggalan fosil-fosil manusia purba dan hewan-hewan purba masih disimpan di rumah penduduk sekitar Situs Patiayam dan di Dinas Pariwisata dan Budaya Kabupaten Kudus.
Menurut Kepala Balai Arkeologi Yogyakarta Harry Widiarto yang formasi lapisan di situs Patiayam ada 4 yaitu nilai sejarah yang tinggi adalah ditemukannya gigi dan tujuh buah fragmen tengkorak manusia purba berjenis hitecanthropus erectus. Menurut beliau lokasi tempat ditemukannya fosil-fosil di situs Patiayam dapat dibagi menjadi empat formasi. Formasi berarti satuan dari lapisan barjan yang terdapat di kawasan yang begitu luas, keempat formasi tersebut adalah sebagai berikut.
a. Formasi Jambe (Meosin Akhir)
Terbentuk pada saat dahulu Muria dan Pulau Jawa terpisah, itulah keadaan yang terjadi yaitu ketika zaman meosin akhir terbentuk. Ini terbukti dengan ditemukannya sumur yang airnya asin di sekitar daerah patiayam salah satunya di daerah gondoharum. Pada zaman inilah formasi di Patiayam merupakan formasi Jambe. Pada formasi jambe biasanya bantuan yang menyusun lapisan adalah bantuan lempung.
b. Formasi Kancilan
Dari daerah yang tadinya merupakan komposisi lempung tadi kemudian terbentuknya formasi kancilan yang diakibatkan karena adanya pengangkatan daratan pada masa plestosen dan aktivitas gunung Muria. Batuan yang ada pada masa itu merupakan campuran dari batuan lempung dan breksi. Keadaan ini terjadi hingga akhir masa plestosen.
c. Formasi Slumprit
Formasi ini terbentuk sekitar 1,5 juta tahun yang lalu. Setelah aktivitas gunung Muria mulai merdeka. Saat inilah terjadi pengendapan sungai dimana terdapat batuan pasir oleh karena itu di situs ini banyak ditemukan sehingga fosil vertebrata dan molusca air tawar. Fosil vertebrata yang ditemukan adalah gajah, rusa, ikan, dan kadal. Inilah yang kemudian dinamakan formasi yang paling banyak ditemukan fosil-fosil tadi. Sayangnya, zaman di mana formasi slumprit terjadi harus berakhir ketika pada akhir berakhir pada masa plestosen tengah.
d. Formasi Suko Bubuk
Terbentuk pada akhir plestosen tengah, terjadi erosi gunung Api Muria Muda. Endapan lahar yang ada adalah bersifat affloforat. Pada masa inilah disebut dengan formasi Solo Bubuk. Empat formasi itulah yang merupakan pusat penemuan jejak-jejak masa lampau di situs tersebut. inilah yang membuat situs ini kaya akan segala macam jenis fosil.
Situs Patiayam juga memiliki nilai-nilai penting. Antara lain :
1. Merupakan salah satu dari sedikit situs manusia purba di Indonesia
2. Mampu memberikan gambaran mengenai evolusi lingkungan purba tanpa terputus selama dua juta tahun terakhir.
3. Mewakili fase kehidupan manusia selana satu tahun terakhir.

Menurut hasil penelitian tahun 2006 Situs Patiayam merupakan situs terlengkap. Hal ini dapat dibuktikan dengan ditemukannya :
1. Manusia purba (Homo Erectus)
2. Fauna vertebrata dan fauna invertabrata
3. Alat-alat batu manusia dari hasil budaya manusia purba ditemukan dalam satu aeri pelapisan tanah yang tidak terputus sejak minimal satu juta tahun yang lalu.

Patiayam merupakan sebuah perbukitan di kaki gunung Muria yang banyak ditemukan fosil manusia purba dan binatang purba sebagai Benda Cagar Budaya (BCB), sehingga kawasan tersebut mamerlukan perlindungan dan penyalamatan. Perlindungan dan penyalamatan bertujuan agar BCB tersebut dapat dimanfaatkan untuk memajukan kebudayaan dan pendidikan Bangsa Indonesia. Selama ini Pemkab Kabupaten Kudus sudah berupaya semaksimal mungkin untuk menyelamatkan dan melesarikan Situs Patiayam yang merupakan situs Prasejarah ikon nasa depan dengan bekerja sama dengan Balai Arkeologi Yogyakarta untuk penalitian dan ekskavasi, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala ( BP3 ) Jawa Tengah, dan Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata Jateng. Selain itu Pemkab Kabupaten Kudus telah menyusu MASTERPLAN Pengembangan Kawasan Situs Patiayam dan RTBL atas kegiatan strategis prioritas yang disangga dengan kegiatan Wisata Alam dan Wisata Budaya yang pengenbangannya berbasis kelestarian dan kearifan lokal.
Sejauh ini masterplan yang merupakan acuan dalam pengembangan dan pelestarian kawasan situs Patiayam sebagai Pusat Pengembangan Sejarah Kepurbakalaan dan atraksi Wisata di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah belum ditindak lanjuti secara optimal. Hal ini dikarenakan karena kondisi sarana prasarana pendukung utamanya dalam hal dana belum tersedia. Selain itu belum turunnya izin penggunaan tanah dari Menteri Kehutanan sebab secara administratif Situs Patiayam tanahnya masih milik Perhutani KPH Kabupaten Pati.
Situs Patiyam merupakan tempat yang tempat untuk melakukan perjalanan kembali ke masa prasejarah. Banyak hal yang bisa dipelajari di situs ini, antara lain tentang kehidupan di masa lalu dan tentang misteri evolusi makhluk hidup yang sangat menarik untuk diungkap.

Sabtu, 08 Januari 2011

Sangiran dalam Perjalanan Sejarah

Sangiran dalam Perjalanan Sejarah
for everyone
1893
Untuk pertama kali Sangiran didatangi peneliti Eugene Dubois. Tetapi penelitian singkat itu tidak menghasilkan temuan yang dicari sehingga dokter dan ahli anatomi tidak berminat melanjutkannya.

1932
Untuk pertama kali wialyah Sangiran dipetakan oleh LJC van Es ke dalam peta geologi berskala 1:20.000

1934
Dengan berpedoman pada peta tersebut, GHR von Koenigswald untuk pertama kali melakukan survei eksploratif dan berhasil menemukan berbagai peralatan manusia purba.

1936
Seorang penduduk menyerahkan sebuah fosil temuannya kepada GHR von Koenigswald yang ternyata adalah rahang kanan manusia purba. Temuan ini tercatat sebagai temuan pertama fosil manusia purba dari Sangiran yan kemudian diberinya kode S1 (Sangiran 1).

1937 sd 1941
Dengan bantuan penduduk setempat pada tahun 1937, 1938, 1939 dan 1941 Von Koenigswald brhasil menemukan fosil manusia purba Homo erectus.

1969
Ditemukan fosil Homo erectus terlengkap di Indonesia sekaligus merupakan satu-satunya fosil terlengkap di Asia yang ditemukan beserta dengan wajahnya.

1977
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 070/0/1977 tanggal 15 Maret 1977, daerah Sangiran ditetapkan sebagai daerah Cagar Budaya yang dilindungi oleh undang-undang.

1977
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Balai Arkeologi Jogjakarta mulai melakukan penelitian secara intensif hingga sekarang yang diantaranya berhasil menghimpun fosil-fosil manusia dari Formasi Pucangan dan Grenzbank. Selain itu, juga menemukan gigi geraham hominid dan fosil binatang yang terletak pada Formasi Kabuh yang berkonteks dengan beberapa alat batu masif dan serpih.

1988
Dalam rangka kepentingan kepariwisataan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan bekerjasama dengan Departemen Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi mendirikan Museum Prasejarah Sangiran. Museum ini terletak di Desa Krikilan, di samping sebagai obyek wisata juga sebagai ajang pendidikan dan penelitian.

8 Oktober 1993
Transaksi fosil tengkorak manusia purba (Pithtchantrophus erectus) terjadi antara penduduk Sangiran dan Dr Donald Tyler seharga Rp 3.800.000. Sindikat fosil itu dapat terbongkar, tetapi tidak ada proses tindak lanjut secara hukum dari pelakunya.

20-23 Mei 1994
Pemerintah mulai melakukan pengembangan Situs Sangiran dengan penyelenggaraan pertemuan-pertemuan yang dalam kesempatan ini bertema "Studi Perlindungan dan Pengembangan Situs Sangiran".

4-6 April 1995
Evaluasi Hasil Studi Perlindungan dan Pengembangan Situs Sangiran.

8-10 Juni 1995
Penyusunan Naskah Nominasi Situs Sangiran untuk diusulkan ke dalam Daftar Warisan Dunia.

11-13 September 1995
Studi Rencana Induk/Master Plan Pengembangan Situs Sangiran dilakukan.

1995
Menyadari pentingnya nilai Situs Sangiran bagi perkembangan dunia ilmu pengetahuan khususnya maslah pemahaman evolusi manusia dan lingkungan alam, pemerintah mengusulkan situs ini ke UNESCO untuk dapat dimasukkan ke dalam World Heritage List atau daftar warisan dunia.

17 Januari 1996
Rapat Evaluasi Studai Master Plan (Rencana Induk) Situs Sangiran.

5 Desember 1996
Situs Sangiran ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia (World Culture Heritage) oleh UNESCO sebagai kawasan "The Early Man Site" dengan No Penetapan (World Heritage List) C 593.

Januari 1997
Mawardi, penduduk setempat menemukan fosil atau tengkorak Homo erectus.

23 April 2002
Rapat rencana kerja pmda Sragen untuk pengembangan Sangiran tahun 2002 dengan materi rapat: rencana pembentukan Badan Otorita Daerah, pengembangan infra struktural kawasan Sangiran untuk pariwisata, pembangunan menara pandang di Desa Pagerejo.

Mei 2002
Badan Perencana Pembangunan Daerah Kabupaten Karanganyar bekerjasama dengan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Lembaga Penelitian Universitas Sebelas Maret Surakarta mengadakan studi kelayakan terhadap tempat pembuangan sampah akhir di Desa Dayu dan Desa Jeruk Sawit, Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar. Hasil Penelitian menyatakan kedua empat tersebut layak untuk dijadikan tempat pembuangan sampah akhir.

17 Juni 2002
Rapat Koordinasi Pemberdayaan Msyarakat Sangiran bersama Lembaga Pengabdian Msyarakat UNS, Surakarta.

25 Juni 2002
Rapat Koordinasi Pengembangan Sangiran oleh Direktirat Purbakala dan permuseuman di Jakarta.

26 Juni 2002
Rapat Koordianasi Pembentukan Badan Otorita Sangiran yang selanjutnya diberi nama Unit Koordinasi Pengembangan Kawasan Sangiran.

3 Juli 2002
Pertemuan antara Pemerintah Kabupaten Karanganyar dan penduduk Kecamatan Gondangrejo, mengenai arti penting Situs Sangiran di Kecamatan Gandangrejo, Kabupaten Karanganyar, dnegna kesimpulan masyarakat Gondangrejo tidak mendukung keberadaan Situs Cagar Budaya Sangiran dan menghendaki wilayahnya dikeluarkan dari wilayah Cagar Budaya Sangiran.

15 Juli 2002
Pemda Karanganyar mengeluarkan surat No. 430/4071.12 tentang permohonan pencabutan Kecamatan Gondangrejo dikeluarkan dari kawasan Cagar Budaya.

31 Agustus 2002
Pemkab Karanganyar mengeluarkan surat tentang permohonan pencabutan kawasan Cagar Budaya, pada wilayah yang akan digunakan untuk TPA (tempat pembuangan akhir sampah) seluas 13 ha di Desa Dayu, Kecamatan Gondangrejo.

Desember 2002
Dinas Pariwisata Provinsi Jawa Tengah mulai membenahi Museum Sangiran dengan mengisi vitrin-vitrin dan partisi di ruang pertemuan yang akhirnya berubah menjadi ruang pamer.

Februari 2003
Pemerintah maupun lembaga profesi Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia mengecam rencana Pemkab Karanganyar untuk membangun TPA di Desa Dayu. Alasannya lokasi tersebut merupakan zona inti dari keseluruhan Situs Sangiran dan tidak jauh dari tempat tersebut terbukti potensi terhadap temuan fosil-fosil manusia purba. Pemerintah menyrankan agar calon lokasi tempat pembuangan sampah dipindahkan di Desa Gares, Kecamatan Gondagrejo. Permasalahan konflik ini sampai sekarang masih mengambang.

2003
Lembaga profesi Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia mengecam rencana Pemkab Sragen membangun menara pandang dan infrastruktur lainnya di Desa Pagerejo karena daerah tersebut merupakan zonda inti dari Situs Sangiran dan di lokasi tersebut pada 1952 ditemukan fosil manusia purba Megantrophus paleojavanicus yang menggemparkan dunia ilmu pengetahuan. Tapi pihak Pemkab Sragen tetap bersikeras membangun menara pandang dan infrastruktur lainnya untuk kepentingan kepariwisataan.

2004
Penyusunan master plan Sangiran yang melibatkan stakeholder terkait.

Juni 2005
Tim penelitian ekskavasi di Desa Dayu menemukan atap tengkorak belakang.

2007
Pemerintah membentuk lembaga Unit Pelaksana Teknis setingkat eselon III/a yang mengelola khusus masalah Sangiran dengan nomenklatur Balai Pelestarian Situs Manusia Purba sangiran.

(Sumber: Kompas, Jumat, 13 Juni 2008)

KUMPULAN QUOTES

"Kadang pahitnya ucapan orang adalah cambuk terkeras untuk kita melangkah mengejar hidup lebih baik" "Rumus kehidupan itu si...